Emerson Yuntho

Pengadilan Tipikor Menanti Ajal

VIVAnews- Dua tahun sudah berlalu. Saat itu Mahkamah Konstitusi  (MK) memutuskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana pasal 53 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak sah atau inkonstitusional.
 
MK selanjutnya meminta kepada pembuat Undang-undang untuk membentuk UU tentang Pengadilan Tipikor dalam jangka tiga tahun setelah putusan. Sesuai target waktu yang diberikan MK, maka UU Pengadilan Tipikor ini harus selesai paling lambat 19 Desember 2009. Artinya, umur Pengadilan Tipikor hanya tinggal setahun saja.
 
Meski pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seringkali menyatakan bahwa RUU Pengadilan Tipikor menjadi prioritas, bahkan ditargetkan akan selesai sebelum Pemilu 2009. Namun, faktanya, proses pembahasan belum ada kejelasan. Mayoritas anggota Pansus RUU Pengadilan Tipikor (jumlah anggota Pansus adalah 50 orang) cenderung lebih fokus pada persiapan pemenangan pemilu 2009 daripada menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor.
 
Ironisnya, DPR justru menyalahkan pemerintah sebagai penyebab tidak selesainya RUU Pengadilan Tipikor tersebut. Keterlambatan penyerahan RUU oleh Pemerintah memang satu persoalan. Akan tetapi berlarut-larutnya proses pembentukan RUU di DPR merupakan faktor paling mendasar yang berpotensi menghilangkan eksistensi Pengadilan Tipikor.
 
"Mempasrahkan" pembahasan RUU Pengadilan Tipikor kepada DPR, jelas bukanlah posisi yang menguntungkan. DPR punya konflik kepentingan (conflict of interest) dengan KPK dan juga Pengadilan Tipikor. Hal ini mengingat sedikitnya sudah ada delapan anggota DPR yang dijerat oleh KPK dan diadili oleh Pengadilan Tipikor. Beberapa di antaranya seperti Saleh Djasit, Noor Adenan, Hamka Yandhu, dan Al Amin Nasution bahkan telah divonis oleh hakim Pengadilan Tipikor.
 
Oleh karenanya jika DPR ingin "membunuh secara perlahan" KPK dan Pengadilan Tipikor dapat dilakukan dengan menghilangkan ketentuan pamungkas dalam RUU tersebut. Atau, membiarkan RUU Pengadilan Tipikor tidak dibahas hingga jangka waktu berakhir.
 


Sejauh ini ada tiga isu krusial dalam subtansi RUU yang menentukan hidup matinya Pengadilan Tipikor. Pertama, mengenai tempat kedudukan. Dalam RUU ditegaskan kedudukan Pengadilan Tipikor berada di setiap kabupaten. Kondisi ini berimplikasi pada sulitnya mencari hakim karir dan hakim ad hoc pengadilan tipikor yang memenuhi syarat, berkualitas dan berintegritas.

Dengan memperhatikan jumlah kabupaten di Indonesia yang mencapai 434 kabupaten, maka dengan asumsi satu majelis terdiri lima orang maka yang dibutuhkan 2.170 orang hakim. Untuk mendapatkan orang jujur, berintegritas, berkualitas dan punya komitmen dalam pemberantasan korupsi sebagai hakim pengadilan tipikor maka jumlah sebanyak itu sulit untuk terpenuhi. Penambahan SDM serta Pengadilan Tipikor di beberapa daerah juga dapat berdampak pada penambahan anggaran dan pengawasan.
 
Kedua, komposisi hakim ad hoc dan karir. RUU tidak memberikan kejelasan mengenai komposisi hakim ad hoc dan karir yang akan memeriksa dan mengadili perkara korupsi dipersidangan. Hal  itu dapat berimplikasi jumlah hakim karir akan lebih besar dari hakim ad hoc  (bandingkan dengan UU KPK, menyebutkan secara tegas komposisi majelis hakim terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir). Padahal sejauh ini publik lebih percaya hakim ad hoc daripada hakim karir.
 
Ketiga, kewenangan pimpinan pengadilan dan MA dalam penentuan jumlah dan komposisi hakim. RUU Pengadilan Tipikor memberikan kewenangan Ketua Pengadilan dan Ketua MA untuk menentukan jumlah dan komposisi hakim. Hal ini membuka peluang intervensi dari pimpinan untuk memilih orang-orang sesuai keinginan atau pesanan. Ini akan  berdampak pada vonis yang ringan atau bahkan membebaskan terdakwa korupsi.
 
Beberapa subtansi RUU Pengadilan Tipikor yang diusung oleh pemerintah dan DPR, sejauh ini, justru mendorong pelemahan pengadilan Tipikor. Sebaiknya DPR berhati-hati untuk merumuskan ketiga hal tersebut.

Nikita Mirzani Beberkan Pemicu Kandasnya Jalinan Asmara Hingga Soal Kesetiaan

Setidaknya jika Pansus RUU Pengadilan Tipikor punya kemauan dan komitmen, ada sejumlah alternatif pembahasan yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor.

Pertama, proses pembahasan dibagi dalam beberapa kelompok dengan beberapa isu krusial dalam RUU Pengadilan Tipikor untuk selanjutnya di pleno-kan. Kedua, yang paling mudah memindahkan seluruh ketentuan mengenai Pengadilan Tipikor dalam UU KPK ditambah dengan menambah sedikit ketentuan penting lainnya menjadi UU Pengadilan Tipikor.

Kasus Pemerasan Firli Bahuri Mandek, Kombes Ade Safri: Pasti Tuntas

Hal yang paling menakutkan terjadi ditahun 2009 ini adalah UU Pengadilan Tipikor tidak disahkan hingga berakhirnya jangka waktu yang ditentukan MK. Hal ini akan membawa konsekuensi tidak saja membubarkan Pengadilan Tipikor, namun berimbas pula pada semua perkara korupsi yang ditangani oleh KPK jika tidak berhenti di tengah jalan (karena ada kebuntuan hukum) maka pilihan lainnya adalah akan diadili di Pengadilan Umum. Padahal kenyataannya, pengadilan umum selama ini dinilai tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi.
 
Berdasarkan pantauan ICW sepanjang tahun 2008, Dari 444 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan umum , sebanyak 277 terdakwa divonis bebas oleh pengadilan. Hanya 167 terdakwa yang akhirnya divonis bersalah. Namun dari 167 terdakwa korupsi yang akhirnya diputuskan bersalah tersebut, dapat dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi.
 
Terdakwa yang divonis dibawah satu tahun penjara adalah sebanyak 78 terdakwa. Di atas 1,1 tahun hingga dua tahun sebanyak 55 terdakwa; divonis 2,1 tahun hingga lima tahun sebanyak 18 terdakwa;  divonis 5,1 tahun hingga 10 tahun yaitu sebanyak lima terdakwa. Hingga tahun 2008 berakhir hanya ada satu terdakwa yang divonis diatas 10 tahun.  Hal yang memprihatinkan di tahun 2008, terdapat 10 terdakwa perkara korupsi yang divonis percobaan. Secara rata-rata, vonis penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Umum adalah 5,82 bulan penjara.
 
Jumlah terdakwa yang divonis bebas pada tahun 2008 – berdasarkan pantauan ICW -  yaitu 277 terdakwa. Hal ini kenyataannnya menambah jumlah terdakwa dibebaskan atau dilepaskan oleh Pengadilan Umum. Dengan demikiaan selama empat tahun terakhir (sejak 2005 hingga 2008) sedikitnya ada 659 terdakwa korupsi yang divonis bebas/lepas oleh Pengadilan Umum.
 
Kondisi tersebut sangat kontras dengan Pengadilan Tipikor. Sejak 2005 hingga 2008, Pengadilan Tipikor setidaknya telah mengadili 92 terdakwa. Tiada satupun yang divonis bebas. Vonis yang diberikan pun cukup memberikan efek jera bagi pelaku yaitu rata-rata selama empat tahun dua bulan penjara.
 
Kondisi pengadilan umum di Indonesia yang dinilai masih marak praktek jual beli keadilan, menjadi alasan bagi masyarakat menolak kasus-kasus korupsi diadili oleh pengadilan umum. Pihak internasional juga belum melihat pengadilan umum punya komitmen dalam pemberantasan korupsi. Setidaknya ini terlihat dari  berbagai survey menyangkut lembaga peradilan. Terakhir, riset PERC (Political Economic and Risk Consultancy) yang berbasis di Hongkong tahun 2008 menunjukkan, posisi pengadilan Indonesia terburuk se-Asia.

Pembentukan Pengadilan Tipikor karenanya adalah respon kongkrit atas ancaman dan akibat yang ditimbulkan oleh korupsi yang tidak hanya membahayakan pembangunan tetapi juga meruntuhkan lembaga dan nilai-nilai demokrasi serta meniadakan keadilan dan menghancurkan supremasi hukum.
 
Ketika Pengadilan Tipikor menjadi tidak menentu, hal ini harus diartikan sebagai upaya serius mendelegitimasi agenda pemberantasan korupsi serta sekaligus mengingkari tuntutan publik agar Indonesia benar-benar ingin bersih dari korupsi. Masyarakat saat ini menanti upaya serius dan konsistensi komitmen DPR secara institusional untuk menyelamatkan Pengadilan Tipikor dan juga pemberantasan korupsi dari kematian.
 
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja dan Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch.

Uruguay dan Indonesia Jajaki Kerja Sama Jaminan Produk Halal
Dokumentasi BNPB

3 Orang Tewas Imbas Longsor dan Banjir Lahar Dingin di Wilayah Gunung Semeru

Banjir Lahar Dingin yang dipicu oleh intensitas hujan yang tinggi di wilayah Gunung Semeru membuat meluapnya debit air Daerah Aliran Sungai (DAS).

img_title
VIVA.co.id
20 April 2024