Preman Tanah Kosong Ganggu Gedung Arthaloka

VIVAnews - Markas Besar Kepolisian RI sedang giat-giatnya memberantas premanisme di seluruh wilayah. Tetapi hingga kini, masih ada sekelompok preman yang sejak tahun 2004, mengganggu di lahan sengketa, komplek Gedung Arthaloka di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.

"Preman-preman itu sangat mengganggu. Saya sudah laporkan ke polisi, preman ini susah diusir," tegas Direktur Keuangan dan Sumberdaya Manusia PT Arthaloka, AA Alit antara di kantornya, Jakarta, Senin, 17 November 2008.

Para preman itu, ujar Alit, menjaga lahan sengketa tepat di sebelah Gedung Arthaloka. Pada malam hari, para preman kerap meloncat pagar dan masuk ke komplek gedung. "Mereka (preman) suka memalak para pemilik kantin. Warga sekitar kelurahan Karet Tengsin sudah terganggu," sesal Alit.

Keberadaan preman ini, menurut Alit, masih berkaitan dengan perselisihan antara Arthaloka dengan PT Mahkota Real Estate (MRE). Sengketa PT Arthaloka yang berada di bawah naungan PT Taspen dan Departemen Keuangan ini, dimulai tahun 1972.

Alit pun menjelaskan kronologis awal sengketa tersebut. Pada tahun 1972, PT Taspen bekerja sama dengan MRE. Isi perjanjain kerjasama terseabut, PT Taspen menyediakan dana untuk pembangunan gedung. Sedangkan, PT MRE menyediakan tanah dan melaksanakan segala pengurusan izin serta fasilitas. PT MRE pun ditunjuk sebagai satu-satunya pengawas sekaligus menjadi direksi.

"Setelah pembangunan gedung selesai, maka PT Taspen menjadi satu-satunya pemilik mutlak atas tanah dan bangunan. lalu, PT MRE menjadi satu-satunya petugas pelaksana untuk mengurus dan mengatur persewaan," beber Alit. Dalam perjanjian tersebut, lanjut dia, MRE akan menerima uang jasa dari hasil bersih uang sewa dan disini keuntungan yang dibagi.

Kisruh dimulai pada tahun 1988, ketika dua direksi MRE terbukti di pengadilan, telah menyelewengkan dana dari pembangunan dan pengelolaan Gedung Arthaloka. Dua direksi MRE, Widodo Aukarno dan Rudi Pamaputra terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis keduanyan dengan 14 tahun penjara.

"Kedua terdakwa itu membeli tanah seluas 23 ribu meter persegi tepat di sebelah Arthaloka. Pada tahun 1988, tanah itu akhirnya disita negara. Para preman itu kini menjaga tanah sengketa itu," tutur Alit.

Sosok Pria yang Ikut Terseret Kasus Narkoba Chandrika Chika, Ternyata Bukan Orang Sembarangan
Forum on “Expansion of Job Opportunities in Japan for Indonesia Resources”

Siapkan Tenaga Kerja yang Kompeten, Kemnaker Ajak Jepang Investasi Pelatihan Bahasa

Kemnaker mengajak pemberi kerja Jepang untuk berinvestasi dalam memberikan pelatihan bahasa Jepang bagi kandidat SSW Indonesia.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024